Selamat Datang di Blog Lembaga Peneliti Muda Kesehatan Aceh (LPMKA)- Hanya dengan terus melakukan penelitian, ilmu dan tekhnologi baru bisa berkembang -...

Sabtu, 17 Mei 2014

Contoh Essai: MUSIK RELAKSASI SEBAGAI TERAPI PADA MANAJEMEN PENATALAKANAAN KELAINAN SKIZOFRENIA


Oleh: Monica Dwi Jalma

Skizofrenia – Masalah Kesehatan Dunia
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo yang artinya retak atau pecah (split), dan frenia yang arinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia juga merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan gejala positif (halusinasi atau delusi) dan gejala negatif (apatis atau anhedonia), gangguan kognitif, dan suasana hati atau kecemasan gejala. Hal ini umumnya terkait dengan gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan[3]. Skizofrenia ini juga merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan  kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.[1,2,3,4,5]

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan diberbagai daerah. Di  Amerika  Serikat  prevalensi  skizofrenia  seumur  hidup  dilaporkan  secara  bervariasi terentang  dari  1  sampai  1,5  %. Konsisten  dengan  angka  tersebut,  penelitian  Epidemological Catchment  Area  (ECA)  yang  disponsori  oleh  National  Institue  of  Mental  Helath  (NIHM) juga melaporkan bahwa prevalensi seumur hidup sebesar 1,3 %[6]. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%[2]. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi  pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural [1,2].



Skizofrenia – Pengaruh Neurobiologis
Ada  beberapa  teori  tentang  pengaruh  neurogiologis  yang menyebabkan  Skizorenia.  Salah  satunya  adalah  ketidakseimbangan  pada  dopamin,  yaitu salah  satu  sel  kimia  dalam  otak yang disebut neurotransmitter. Normalnya kimiawi otak ini yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain[4]. Beberapa ahli tersebut mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas  neurotransmitter dopamine yang berlebihan dibagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Namun, banyak juga ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan[2]. Penelitian baru-baru ini mengatakan bahwa pada pasien skizofrenia juga ditemukan penurunan kadar transtiretin atau pre-albumin yang  merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada zalir serebrospinal[4].

Penanganan Pasien Skizofrenia
Penderita  skizofrenia  memerlukan  perhatian  dan  empati,  namun  keluarga  perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan  penderita  skizofrenia adalah  perawatan  obat-obatan  antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan  terapi psikologis[4].
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan  haloperidol  (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama[2,6].
Terapi pendukung biasanya dikombinasi dengan obat antipsikotik guna membantu menurunkan/mengatasi gejala skizofrenia, mencegah kekambuhan, membantu pasien tetap berobat dan membantu pasien kembali ke kehidupan yang normal. Walau tidak menyambuhkan, psikoterapi dapat membantu pasien mengatasi gejala-gejala spesifik, seperti: anxiety (kecemasan), panik, fobia, gangguan emosi, stres, insomnia, (susah tidur), depresi, gangguan hubungan antar manusia dan gangguan psikologi seksual[5].
Penggiat Komunitas Peduli Skizofrenia Bagus Utomo menyatakan salah satu  terapi efektif untuk  para  pengidap  gangguan  kejiwaan  skizofrenia  adalah  melalui  seni  lukis.  Aliran lukisan  penyandang  skizofrenia  adalah  ekspresionis  karena  ada  deformasi  sesuai keinginan  yang  menceritakan  kepedihan  hidup.  Asyarakat  akan  melihat  banyak  sekali pesan dan symbol di mana goresannya lebih kasar karena memang bukan seniman. Ketika masyarakat  memahami  desain  visual  yang  mereka  gambar  maka  bias  mengambil  dan memahami penderita skizofrenia[4,5]. Temuan baru-baru ini menunjukkan bahwa efek menguntungkan dari relaksasi musik juga sebagai pengobatan pada orang dengan skizofrenia[7].

Musik Relaksasi – Sebagai Terapi Terbaru dalam Manajemen Penatalaksanaan Skizofrenia
Penelitian-penelitian mengenai dampak rnusik  terhadap kehidupan psikofisik  serta kepribadian seseorang di masa lalu sangat langka, yang berakibat kurangnya informasi mengenai manfaat musik bagi kehidupan manusia kecuali sebagai alat hiburan. Namun, dengan berkembangnya berbagai penelitian tentang musik, berbagai  rahasia  kekuatan musik sedikit demi  sedikit mulai  terungkap.
Elemen musik bisa mempengaruhi integrasi emosi individu terutma masa pengobatan, pemulihan, bahkan keadaan skizofrenia. Musik adalah suatu komponen yang dinamis yang bisa mempengaruhi baik psikologis aupun fisiologis bagi pendengarnya. Newzeland Society for Music Theraphy menyatakan bahwa terapi musik telah terbukti efektifnya untuk diimpementasikan pada bidang kesehatan, karena musik bisa menurunkan kecemasan, nyeri, stress, dan menimbulkan mood positif. Selain itu musik juga melibatkan pasien dalam prosesnya[8].
Pasien skizofrenia yang mempunyai emosi negatif yang dominan seperti  kesedihan, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan, perasaan bersalah, perasaan  dihukum, rasa tidak suka terhadap diri sendiri, dan menyalahkan diri sendiri. Melalui terapi musik, suasana  perasaan subjek yang semula negatif akan berubah menjadi positif. Diharapkan setelah mempunyai suasana perasaan positif, subjek mempunyai emosi positif dan selanjutnya depresi yang dialami akan berkurang atau hilang.[9,10]
Efek musik terhadap terapi pada pasien skizofrenia bahwa stimulus musik memiliki efek biologis pada perilaku manusia dengan melibatkan fungsi otak yang spesifik seperti memori, belajar, motivasi, emosi dan stress. Finnerty pada tahun 2006 melakukan studi kualitatif dimana dengan pernyataan hasil penelitianya yaitu, terapi musik bisa mempengaruhi keadaan biologis tubuh seperti emosi dan memori. Ketukan yang tetap dan tenang memberi pengaruh kuat pada pasien sehingga tercipta suatu keadaan rilex. Keadaan rilex ini memicu teraktivisinya sistim saraf parasimpatis yang berfungsi sebagai penyeimbang dari sistim parasimpatis. Terapi musik juga bisa menurunkan kecemasan, gejala depresi, meningkatkan motivasi, sehingga berkontribusi meningkatkan kualitas hidup pasien[8].
Bartlett dan Hodges tahun 2010 mengatakan hampir setiap organ dalam tubuh dengan listrik atau kimia, telah diselidiki dalam hubungannya dengan rangsangan musik. Sedangkan James dalam penelitianya juga mengatakan bahwa manusia selalu berinteraksi dengan musik, baik secara sadar dan tidak sadar, pada tingkat perilaku, emosional, dan fisiologis. Sebuah penelitian eksperimental yang dilakukanya, dengan tujuan melihat bagaimana fitur khusus musik (misalnya, beat-nya, tempo, atau tingkat pitch) memicu respon neurofisiologis, psychophysiological, emosional, dan perilaku. Intervensi dengan sasaran psikologis (misalnya, depresi, kecemasan), didapatkan bahwa sistim saraf otonom (SSO) merupakan fungsi sebagai bagian dari umpan balik yang sensitive[11]. Disusul oleh beberapa penelitian lain yang juga mengungkapkan temuan bahwa SSO berfungsi sebagai jalur akhir yang umum di mana musik memberikan efek terapi pada kesehatan dan penyakit[11].
Banyak bukti keterlibatan sistem saraf otonom (SSO) dalam kesehatan dan penyakit dengan kemampuan musik untuk mempengaruhi aktivitas SSO. Beberapa studi telah sistematis dieksplorasi efek terapi musik pada disfungsi SSO. Setelah meninjau literatur eksperimental dan terapi mengeksplorasi musik dan SSO, sebuah "Neurovisceral Integrasi" perspektif tentang interaksi antara sistem saraf pusat dan otonom diperkenalkan, dan implikasi terkait untuk kesehatan fisiologis, emosional, dan kognitif dieksplorasi[8,11].
Secara umum, disfungsi SSO hadir dalam hubungannya dengan penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer, multiple system atrophy, dan penyakit Parkinson, gangguan perkembangan saraf seperti gangguan spektrum autisme, penyakit autoimun seperti multiple sclerosis, gangguan mental seperti kecemasan umum, depresi berat, dan skizofrenia. Secara khusus, ketika cabang simpatik hiperaktif dan cabang parasimpatis adalah hipoaktif selama durasi diperpanjang, kebutuhan energi pada sistem menjadi berlebihan dan akhirnya tidak dapat dipenuhi, sehingga penuaan dini, penyakit, dan akhirnya kematian[11].
Menurut Peng SM pada penelitianya di  Department of Psychiatry, Dalin Tzu Chi General Hospital, Dalin, Chiayi, Taiwan. Melakukan sebuah penelitian bagaimana pengaruh musik sebagai terapi tambahan pada gejala psikotik dievaluasi dalam 67 pasien dengan skizofrenia dari bangsal psikiatri akut rumah sakit regional di Taiwan selatan. Sebuah pretest-posttest, dua kelompok berulang langkah-langkah desain yang digunakan. Kelompok eksperimen menerima 50 menit sesi aktivitas musik kelompok lima kali seminggu selama 2 minggu di samping perawatan standar. Tingkat keparahan gejala psikotik dinilai menggunakan Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS). Musik secara signifikan mengurangi skor total dan sub-skala dari BPRS pada pasien dengan skizofrenia[10].
Didukung lagi dengan teori Berlyne tentang pengaruh musik terrhadap emosi mengatakan bahwa pendengar musik memperhitungkan faktor-faktor seperti kompleksitas, fantiliaritas  dan kebaruan  musik  yang  didengarkan. Menurut Menon dan Levitin tahun 2005, musik  yang menyenangkan menginduksi respon neurologis pada manusia, misalnya musik yang sangat menyenangkan telah ditunjukkan untuk mengaktifkan-reward terkait daerah otak seperti nucleus accumbens, area tegmental ventral, amigdala, dan korteks prefrontal. Peningkatan konektivitas fungsional antara daerah otak yang memediasi reward dapat membantu menjelaskan mengapa mendengarkan musik dianggap sebagai pengalaman manusia yang sangat menyenangkan. Fakta bahwa manusia menemukan bermanfaat musik mungkin membantu menjelaskan mengapa terapi musik telah menunjukkan hasil yang menjanjikan seperti pada gangguan skizofrenia[9,12].

Kesimpulan:
Berdasarkan studi pustaka dan bukti penelitian di atas mengenai potensi rnusik  terhadap kehidupan psikofisik pada pasien skizofrenia. Elemen musik ini bisa mempengaruhi integrasi emosi individu terutma masa pengobatan, pemulihan, dari keadaan skizofrenia. Beberapa penelitian lain yang juga mengungkapkan temuan bahwa SSO berfungsi sebagai jalur akhir yang umum di mana musik memberikan efek terapi pada kesehatan dan penyakit, dimana secara umum disfungsi SSO hadir dalam hubungannya dengan penyakit neurodegeneratif seperti pada skizofrenia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peng SM juga memperkuat hasil penelitian yang menyatakan bahwa musik secara signifikan mengurangi skor total dan sub-skala dari BPRS pada pasien dengan skizofrenia. Jadi, terapi music relaksasi sebagai terapi tambahan pada majemen penatalaksaan pasien skizofrenia bisa mempercepat masa perbaikan dan mencegah rekurensi pada pasien skizofrenia itu sendiri.
Daftar Pustaka
1.      Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.
2.      Repository Univesitas Sumatra Utara. Diakses 23 Desember 2013; http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/4/Chapter%20II.pdf
3.      Kuan-Yi Wu. et al. Functional abnormalities in the cortical processing of sound complexity and musical consonance in schizophrenia: evidence from an evoked potential study. BMC Psychiatry. 2013; 13: 158.
4.      SKIZOFRENIA - BBTKLPP Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Diakses 25 Desember 2013; http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333-schizophrenia.pdf
5.      Skizofrenia. Diakses 26 Desember 2013; http:// psikomedia.com
6.      Irwan. M. Penatalaksanaan skizofrenia. Files of DrsMed: Universitas Riau. Diakses 26 Desember  2013;
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/06/penatalaksanaan-skizofrenia_files-of-drsmedpdp.pdf
7.      Bloch.B, Reshef.A, Vadas.L. et al. The effects of music relaxation on sleep quality and emotional measures in people living with schizophrenia. Psychiatric Department, Haemek Medical Center Afula, Israel:  J Music Ther. 2010 Spring;47(1):27-52.
8.      Novita D. Pengaruh terapi music terhadap nyeri post operasi open reduction and internal fixation (ORIF) di RSUD Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok: Juli 2012
9.      Dinah .M, Lerik.C, Prawitasari.JE. The Effect of Music Therapy 0n Depression Among Students. Program  Studi  Psikologi Sekolah  Pascasarjana Universitas Gadjah  Mada, Yogjakarta: SOSIOSAINS, 18(2), April 2005
10.  Peng SM, Koo M, Kuo JC. Effect of group music activity as an adjunctive therapy on psychotic symptoms in patients with acute schizophrenia. Departemen Psikiatri, Rumah Sakit Umum Dalin Tzu Chi, Dalin, Chiayi, Taiwan: Arch Psychiatr Nurs. Dec 2010, 24 (6) :429-34. doi: 10.1016/j.apnu.2010.04.001. Epub 2010 May 21
11.  Robert J.E, Julian F.T. Music and Autonomic Nervous System (Dys)function. Published in final edited form as: Music Percept. 2010 April; 27(4): 317–326
12.  Polston J.E, Rubbinaccio H.Y, Morra J.T. et al. Music-induced Context Preference Following Cocaine Conditioning in Rats. Published in final edited form as: Pharmacol Biochem Behav. 2011 March; 98(1): 54–61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar