Oleh:
Monica Dwi Jalma
Skizofrenia – Masalah Kesehatan
Dunia
Skizofrenia
berasal dari dua kata, yaitu Skizo
yang artinya retak atau pecah (split), dan frenia
yang arinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia juga merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai
dengan gejala positif (halusinasi atau delusi) dan gejala negatif (apatis atau
anhedonia), gangguan kognitif, dan suasana hati atau kecemasan gejala. Hal ini umumnya terkait dengan gangguan dalam fungsi sosial
dan pekerjaan[3]. Skizofrenia ini juga merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai
dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang.
Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.[1,2,3,4,5]
Skizofrenia
dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan diberbagai daerah. Di Amerika
Serikat prevalensi skizofrenia
seumur hidup dilaporkan
secara bervariasi terentang dari
1 sampai 1,5 %.
Konsisten dengan angka
tersebut, penelitian Epidemological
Catchment Area (ECA)
yang disponsori oleh National
Institue of Mental
Helath (NIHM) juga melaporkan
bahwa prevalensi seumur hidup sebesar 1,3 %[6]. Insiden dan tingkat
prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Menurut
Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur
hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan
sekitar 0,2%-1,5%[2]. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai
pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat
yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih
besar di daerah urban dibandingkan daerah rural [1,2].
Skizofrenia – Pengaruh Neurobiologis
Ada beberapa
teori tentang pengaruh
neurogiologis yang
menyebabkan Skizorenia. Salah
satunya adalah ketidakseimbangan pada
dopamin, yaitu salah satu
sel kimia dalam
otak yang disebut neurotransmitter. Normalnya kimiawi otak ini yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain[4]. Beberapa
ahli tersebut mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan dibagian-bagian
tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Namun,
banyak juga ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja
tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin
dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan[2]. Penelitian
baru-baru ini mengatakan bahwa pada pasien skizofrenia juga ditemukan penurunan
kadar transtiretin atau pre-albumin yang
merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada
zalir serebrospinal[4].
Penanganan Pasien Skizofrenia
Penderita skizofrenia
memerlukan perhatian dan
empati, namun keluarga
perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu
mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa
menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita
skizofrenia adalah perawatan obat-obatan
antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis[4].
Pada
penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian
otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan
fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan
haloperidol (haldol). Obat ini
disebut obat penenang utama[2,6].
Terapi
pendukung biasanya dikombinasi dengan obat antipsikotik guna membantu
menurunkan/mengatasi gejala skizofrenia, mencegah kekambuhan, membantu pasien
tetap berobat dan membantu pasien kembali ke kehidupan yang normal. Walau tidak
menyambuhkan, psikoterapi dapat membantu pasien mengatasi gejala-gejala
spesifik, seperti: anxiety (kecemasan), panik, fobia, gangguan emosi, stres,
insomnia, (susah tidur), depresi, gangguan hubungan antar manusia dan gangguan
psikologi seksual[5].
Penggiat
Komunitas Peduli Skizofrenia Bagus Utomo menyatakan salah satu terapi efektif untuk para
pengidap gangguan kejiwaan
skizofrenia adalah melalui
seni lukis. Aliran lukisan penyandang
skizofrenia adalah ekspresionis
karena ada deformasi
sesuai keinginan yang menceritakan
kepedihan hidup. Asyarakat
akan melihat banyak
sekali pesan dan symbol di mana goresannya lebih kasar karena memang
bukan seniman. Ketika masyarakat
memahami desain visual
yang mereka gambar
maka bias mengambil
dan memahami penderita skizofrenia[4,5]. Temuan baru-baru ini menunjukkan bahwa
efek menguntungkan dari relaksasi musik juga sebagai pengobatan pada orang dengan
skizofrenia[7].
Musik Relaksasi – Sebagai Terapi Terbaru
dalam Manajemen Penatalaksanaan Skizofrenia
Penelitian-penelitian
mengenai dampak rnusik terhadap
kehidupan psikofisik serta kepribadian
seseorang di masa lalu sangat langka, yang berakibat kurangnya informasi
mengenai manfaat musik bagi kehidupan manusia kecuali sebagai alat hiburan.
Namun, dengan berkembangnya berbagai penelitian tentang musik, berbagai rahasia
kekuatan musik sedikit demi
sedikit mulai terungkap.
Elemen musik bisa mempengaruhi integrasi emosi individu
terutma masa pengobatan, pemulihan, bahkan keadaan skizofrenia. Musik adalah
suatu komponen yang dinamis yang bisa mempengaruhi baik psikologis aupun
fisiologis bagi pendengarnya. Newzeland
Society for Music Theraphy menyatakan bahwa terapi musik telah terbukti
efektifnya untuk diimpementasikan pada bidang kesehatan, karena musik bisa
menurunkan kecemasan, nyeri, stress, dan menimbulkan mood positif. Selain itu
musik juga melibatkan pasien dalam prosesnya[8].
Pasien skizofrenia yang mempunyai emosi negatif yang dominan
seperti kesedihan, pesimisme, perasaan
gagal, ketidakpuasan, perasaan bersalah, perasaan dihukum, rasa tidak suka terhadap diri sendiri,
dan menyalahkan diri sendiri. Melalui terapi musik, suasana perasaan subjek yang semula negatif akan
berubah menjadi positif. Diharapkan setelah mempunyai suasana perasaan positif,
subjek mempunyai emosi positif dan selanjutnya depresi yang dialami akan
berkurang atau hilang.[9,10]
Efek musik terhadap terapi pada pasien skizofrenia bahwa
stimulus musik memiliki efek biologis pada perilaku manusia dengan melibatkan
fungsi otak yang spesifik seperti memori, belajar, motivasi, emosi dan stress.
Finnerty pada tahun 2006 melakukan studi kualitatif dimana dengan pernyataan
hasil penelitianya yaitu, terapi musik bisa mempengaruhi keadaan biologis tubuh
seperti emosi dan memori. Ketukan yang tetap dan tenang memberi pengaruh kuat
pada pasien sehingga tercipta suatu keadaan rilex. Keadaan rilex ini memicu
teraktivisinya sistim saraf parasimpatis yang berfungsi sebagai penyeimbang
dari sistim parasimpatis. Terapi musik juga bisa menurunkan kecemasan, gejala
depresi, meningkatkan motivasi, sehingga berkontribusi meningkatkan kualitas
hidup pasien[8].
Bartlett
dan Hodges
tahun 2010
mengatakan hampir setiap organ dalam tubuh dengan listrik atau kimia, telah
diselidiki dalam hubungannya dengan rangsangan musik. Sedangkan James
dalam penelitianya juga mengatakan bahwa manusia selalu berinteraksi dengan
musik, baik secara sadar dan tidak sadar, pada tingkat perilaku, emosional, dan
fisiologis. Sebuah penelitian eksperimental yang dilakukanya, dengan tujuan melihat
bagaimana fitur khusus musik (misalnya, beat-nya, tempo, atau tingkat pitch)
memicu respon neurofisiologis, psychophysiological,
emosional, dan perilaku. Intervensi dengan sasaran psikologis (misalnya,
depresi, kecemasan), didapatkan bahwa sistim saraf otonom (SSO) merupakan fungsi
sebagai bagian dari umpan balik yang sensitive[11]. Disusul oleh
beberapa penelitian lain yang juga mengungkapkan temuan bahwa SSO berfungsi
sebagai jalur akhir yang umum di mana musik memberikan efek terapi pada
kesehatan dan penyakit[11].
Banyak bukti keterlibatan sistem saraf otonom (SSO) dalam kesehatan
dan penyakit dengan kemampuan musik untuk mempengaruhi aktivitas SSO. Beberapa studi telah sistematis
dieksplorasi efek terapi musik pada disfungsi SSO. Setelah meninjau
literatur eksperimental dan terapi mengeksplorasi musik dan SSO, sebuah "Neurovisceral Integrasi"
perspektif tentang interaksi antara sistem saraf pusat dan otonom
diperkenalkan, dan implikasi terkait untuk kesehatan fisiologis, emosional, dan
kognitif dieksplorasi[8,11].
Secara umum, disfungsi SSO hadir dalam hubungannya dengan
penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer, multiple system atrophy,
dan penyakit Parkinson, gangguan perkembangan saraf seperti gangguan spektrum
autisme, penyakit autoimun seperti multiple sclerosis, gangguan mental seperti
kecemasan umum, depresi berat, dan skizofrenia. Secara
khusus, ketika cabang simpatik hiperaktif dan cabang parasimpatis adalah
hipoaktif selama durasi diperpanjang, kebutuhan energi pada sistem menjadi
berlebihan dan akhirnya tidak dapat dipenuhi, sehingga penuaan dini, penyakit,
dan akhirnya kematian[11].
Menurut Peng SM pada penelitianya di Department of Psychiatry, Dalin Tzu Chi General Hospital,
Dalin, Chiayi, Taiwan. Melakukan sebuah penelitian bagaimana pengaruh musik sebagai terapi
tambahan pada gejala psikotik dievaluasi dalam 67 pasien dengan skizofrenia
dari bangsal psikiatri akut rumah sakit regional di Taiwan selatan. Sebuah
pretest-posttest, dua kelompok berulang langkah-langkah desain yang digunakan.
Kelompok eksperimen menerima 50 menit sesi aktivitas musik kelompok lima kali
seminggu selama 2 minggu di samping perawatan standar. Tingkat keparahan gejala
psikotik dinilai menggunakan Brief
Psychiatric Rating Scale (BPRS). Musik secara signifikan mengurangi skor
total dan sub-skala dari BPRS pada pasien dengan skizofrenia[10].
Didukung lagi dengan teori Berlyne tentang pengaruh musik
terrhadap emosi mengatakan bahwa pendengar musik memperhitungkan faktor-faktor
seperti kompleksitas, fantiliaritas dan
kebaruan musik yang
didengarkan. Menurut Menon
dan Levitin tahun 2005, musik yang menyenangkan
menginduksi respon neurologis pada manusia, misalnya musik yang sangat
menyenangkan telah ditunjukkan untuk mengaktifkan-reward terkait daerah otak
seperti nucleus accumbens, area tegmental
ventral, amigdala, dan korteks prefrontal. Peningkatan
konektivitas fungsional antara daerah otak yang memediasi reward dapat membantu
menjelaskan mengapa mendengarkan musik dianggap sebagai pengalaman manusia yang
sangat menyenangkan. Fakta bahwa manusia
menemukan bermanfaat musik mungkin membantu menjelaskan mengapa terapi musik
telah menunjukkan hasil yang menjanjikan seperti pada gangguan skizofrenia[9,12].
Kesimpulan:
Berdasarkan
studi pustaka dan bukti penelitian di atas mengenai potensi rnusik terhadap kehidupan psikofisik pada pasien
skizofrenia. Elemen musik ini bisa mempengaruhi
integrasi emosi individu terutma masa pengobatan, pemulihan, dari keadaan
skizofrenia. Beberapa penelitian lain yang juga mengungkapkan temuan
bahwa SSO berfungsi sebagai jalur akhir yang umum di mana musik memberikan efek
terapi pada kesehatan dan penyakit, dimana secara umum
disfungsi SSO hadir dalam hubungannya dengan penyakit neurodegeneratif seperti
pada skizofrenia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peng SM juga memperkuat
hasil penelitian yang menyatakan bahwa musik secara signifikan mengurangi skor
total dan sub-skala dari BPRS pada pasien dengan skizofrenia. Jadi, terapi
music relaksasi sebagai terapi tambahan pada majemen penatalaksaan pasien skizofrenia
bisa mempercepat masa perbaikan dan mencegah rekurensi pada pasien skizofrenia
itu sendiri.
Daftar Pustaka
1.
Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.
2.
Repository Univesitas
Sumatra Utara. Diakses 23 Desember 2013; http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/4/Chapter%20II.pdf
3.
Kuan-Yi Wu.
et al. Functional abnormalities in the cortical processing of sound complexity
and musical consonance in schizophrenia: evidence from an evoked potential
study. BMC
Psychiatry. 2013; 13: 158.
4.
SKIZOFRENIA
- BBTKLPP Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Diakses 25
Desember 2013; http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333-schizophrenia.pdf
5.
Skizofrenia. Diakses 26 Desember 2013; http://
psikomedia.com
6.
Irwan. M. Penatalaksanaan skizofrenia.
Files of DrsMed: Universitas Riau. Diakses 26 Desember 2013;
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/06/penatalaksanaan-skizofrenia_files-of-drsmedpdp.pdf
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/06/penatalaksanaan-skizofrenia_files-of-drsmedpdp.pdf
7.
Bloch.B, Reshef.A, Vadas.L. et al. The
effects of music relaxation on sleep quality and emotional measures in people
living with schizophrenia. Psychiatric Department, Haemek Medical Center Afula,
Israel: J Music Ther. 2010 Spring;47(1):27-52.
8.
Novita D. Pengaruh terapi music terhadap
nyeri post operasi open reduction and
internal fixation (ORIF) di RSUD Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok: Juli 2012
9.
Dinah .M, Lerik.C, Prawitasari.JE. The
Effect of Music Therapy 0n Depression Among Students. Program Studi
Psikologi Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta: SOSIOSAINS, 18(2), April 2005
10.
Peng SM, Koo M, Kuo JC. Effect of
group music activity as an adjunctive therapy on psychotic symptoms in patients
with acute schizophrenia. Departemen Psikiatri, Rumah
Sakit Umum Dalin Tzu Chi, Dalin, Chiayi, Taiwan: Arch Psychiatr Nurs. Dec 2010, 24 (6) :429-34. doi: 10.1016/j.apnu.2010.04.001. Epub 2010 May 21
11. Robert J.E, Julian F.T.
Music and Autonomic Nervous System (Dys)function. Published in final edited form as: Music Percept. 2010 April; 27(4): 317–326
12.
Polston
J.E, Rubbinaccio H.Y, Morra J.T. et al. Music-induced Context
Preference Following Cocaine Conditioning in Rats. Published in final edited form as:
Pharmacol Biochem Behav. 2011 March; 98(1): 54–61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar